
Berita Surakarta – Rencana eksplorasi dan pengembangan energi panas bumi (geothermal) di kawasan Lereng Gunung Lawu, tepatnya di Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, menuai penolakan tegas dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karanganyar.
Penolakan ini disampaikan langsung oleh Ketua DPRD Karanganyar, Bagus Selo, bersama Wakil Ketua DPRD, Darwanto, menyusul kekhawatiran mereka terhadap dampak ekologis, sosial, hingga pelestarian nilai sejarah dan budaya kawasan Gunung Lawu.
Nilai Historis dan Spiritual Gunung Lawu
Bagus Selo menegaskan, Gunung Lawu bukan sekadar bentang alam, melainkan kawasan yang sarat makna spiritual, historis, dan budaya. Gunung ini sejak lama dipercaya masyarakat sebagai ruang sakral yang seharusnya dilindungi, bukan dieksploitasi untuk kepentingan energi berskala besar.
“Dari saya, nggak setuju. Karena tanah bumi maupun gunung itu penuh sejarah. Untuk kegiatan geothermal, itu sangat berisiko besar. Jadi, saya menolak. Intinya itu saja,” tegas Bagus Selo kepada Espos, Selasa (30/9/2025).
Aspirasi Warga Lereng Lawu
Nada serupa diungkapkan Wakil Ketua DPRD Karanganyar, Darwanto. Politikus PKS itu menegaskan mayoritas aspirasi masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar Lereng Lawu, menunjukkan penolakan terhadap rencana proyek panas bumi tersebut.
Baca Juga : Sturman Panjaitan: Partisipasi Publik Bermakna dalam Penyusunan RUU PIP
Menurut Darwanto, masyarakat mengkhawatirkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan, termasuk risiko kerusakan ekosistem, pencemaran sumber mata air, dan potensi bencana alam.
“Kami sebagai wakil rakyat menjaring aspirasi masyarakat, dan memang mayoritas menolak. Masyarakat menilai geothermal ini akan merusak lingkungan dan menimbulkan dampak lain yang ditakutkan dalam jangka panjang,” ujar Darwanto.
Kritik Minimnya Sosialisasi
Darwanto juga menyoroti minimnya komunikasi dari pemerintah pusat maupun pihak investor kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Ia menyayangkan bahwa rencana masuknya Jenawi sebagai titik lelang proyek geothermal tidak disertai sosialisasi maupun forum diskusi publik.
“Harusnya ada FGD [focus group discussion], sosialisasi yang melibatkan semua pihak. Kalau seperti ini, masyarakat makin merasa diabaikan,” imbuhnya.
Sejauh ini, DPRD Karanganyar belum pernah membahas rencana geothermal secara resmi, dan belum ada pemaparan teknis dari kementerian terkait. Namun, suara penolakan masyarakat yang kian kuat membuat DPRD mengambil sikap tegas.
Kekhawatiran Ekologis
Selain soal transparansi, kekhawatiran terbesar masyarakat adalah potensi kerusakan ekologis. Gunung Lawu selama ini berfungsi sebagai kawasan tangkapan air yang menopang kehidupan masyarakat di Karanganyar dan daerah sekitarnya. Proyek geothermal dikhawatirkan akan mengurangi daya resap air, merusak habitat, serta menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem.
“Gunung Lawu adalah sumber kehidupan. Kalau fungsi ekologisnya rusak, dampaknya bukan hanya untuk Karanganyar, tapi juga wilayah lain di sekitarnya,” tegas Darwanto.
Tuntutan Dialog Terbuka
DPRD Karanganyar mendesak pemerintah pusat agar menghentikan proses lelang proyek geothermal di Jenawi sampai ada dialog terbuka dengan masyarakat dan pihak-pihak terkait. Mereka menilai langkah ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan menghindari konflik sosial di kemudian hari.
Penolakan dari DPRD ini menambah daftar panjang kontroversi proyek geothermal di berbagai daerah di Indonesia, yang sering kali menimbulkan pro-kontra antara kebutuhan energi bersih dengan perlindungan lingkungan dan kearifan lokal.
Editor: Kastolani Marzuki





